Cerbung: Nyanyian di Balik Kabut (3)

oleh Veronica Widyastuti

Cerita sebelumnya:

Elsa mengajak Aira mengunjungi Danau Kelimutu. Elsa memamerkan kicau burung garugiwa yang sering disebut burung arwah. Biasanya, garugiwa berkicau di pagi hari. Namun, kali ini, dia berkicau di siang hari dengan suara pilu. Aira heran melihat ekspresi aneh Elsa dan Paman Berto.

“Pulang, yuk! Kabut sudah tebal,” ajak Elsa. “Berapa, Paman?”

Paman Berto tertawa. “Berapa? Dua mangkok, lah!” candanya. “Sudahlah, Elsa. Anggap saja, ini suguhan Paman untuk sepupumu.”

“Wah, terima kasih, Paman!” seru Aira dan Elsa hampir berbarengan.

Keluar dari warung Paman Berto, Aira melihat kain-kain tenun ikat yang digelar untuk dijual. Elsa mengobrol dengan penjualnya, Bibi Ana.

“Bibi Ana ini tetanggaku, Aira. Di kampungku, kamu bisa melihat lebih banyak koleksi kain. Kamu juga bisa melihat proses pembuatannya.”

Aira minta tolong Elsa untuk difoto di antara kain-kain Flores yang cantik dan anggun. Lalu, mereka kembali pulang berjalan kaki.
Nyanyian di Balik Kabut (3) diilustrasi oleh Jenny.

“Enggak capek, Aira? Kalau capek, bisa naik ojek,” tawar Elsa. Tetapi, Aira memilih berjalan kaki. Capek, tetapi lebih puas menikmati keindahan suasana pegunungan.

Sorenya, Elsa mengajak Aira ke Murundao, air terjun yang tak jauh dari rumah Elsa. Air terjun setinggi sekitar 20 meter itu terlihat menjulang. Aira berdiri di sebuah batu besar. Percikan air membasahi kakinya. Aira senang melihat batu-batu besar dan kecil yang bertebaran di sekitar air terjun. Batu-batu itu seperti ditata di sepanjang sungai.

“Aira!”

Aira menoleh. Matanya membelalak. Senyumnya mengembang. “Jeany!”

Jeany baru datang dari Maumere. Dia menginap di sebuah penginapan kecil di dekat rumah Elsa. Jeany berencana ke Kelimutu besok pagi-pagi sekali. Jeany mengajak Aira untuk berjalan bersama-sama. Elsa juga setuju. Jadilah mereka bertiga berjalan di tengah dinginnya udara pagi.

Pagi hari di Kelimutu. Matahari seperti malu-malu terbit, memancarkan warna jingga. Aira menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. Segarrr!

“Aira, masih menyimpan bunga kamboja dariku?” tanya Jeany tiba-tiba.

Aira tersenyum, lalu menunjukkan setangkai bunga kamboja yang diambil dari sakunya. Jeany tertawa.

“Tanpa dia, aku langsung sial. Aku kehilangan handphone. Oh, no! Semoga kamu benar-benar beruntung bersamanya.”

Aira tertawa. Sebenarnya, Aira tak terlalu percaya. Tetapi, rasanya sayang membuang bunga itu. Selama tidak merugikan, tidak ada salahnya kubawa. Pikir Aira.

Penjual tenun di Kelimutu.
Paman Berto tertawa ketika mereka bertiga mampir ke warungnya. “Masih penasaran kalian ke sini lagi?”

“Kemarin kami kesiangan, Paman. Tidak bertemu sunrise, sementara kabut sudah tebal.” Aira memperkenalkan Jeany. Jeany memesan secangkir kopi, lalu mengobrol dengan Paman Berto.

Tak terasa, hari beranjak siang. Kabut tipis mulai turun. Elsa mengajak mereka pulang. “Kuantar kalian melihat orang menenun kain ikat.”

“Tunggu! Aku mau memotret sebentar di atas,” kata Jeany.

“Ikut!” seru Aira. Tak bosan-bosannya Aira menikmati keindahan Danau Kelimutu yang sering berubah warna itu. Mungkin, jika tahun depan Aira ke sini lagi, warna ketiga danau itu berbeda.

Jeany dan Aira naik lagi ke tepi danau. Elsa menunggu di warung Paman Berto. Jeany meminta Aira menjadi model fotonya. Lama-kelamaan, kabut semakin tebal. Jeany menyerah. “Kita pulang saja. Besok, biar aku ke sini lagi.”

Jeany memasukkan kamera. Tanpa sengaja, Aira melihat Jeany meludah ke arah danau Tiwu Ata Polo. Spontan Aira berseru. “Jeany! What are you doing?

What’s wrong, Aira?

“Jangan meludah sembarangan, Jeany. Kamu meludah ke Tiwu Ata Polo, tempat berkumpul arwah orang jahat.”

“Oh! Itu cuma cerita.” Jeany mengangkat bahu dengan gaya meremehkan.

Aira tidak suka dengan sikap Jeany. Aira memang tidak suka melihat orang meludah sembarangan. Apalagi, di tempat yang harus dijaga.

Wuuu! Wuuu! Wuuu! Tiba-tiba, kicau garugiwa yang menyayat hati terdengar lagi. Aira merinding. Sedih sekali suaranya.
Di antara kain-kain tenun.

Di warung Paman Berto, Aira melihat mata Elsa yang basah. Elsa menangis. Paman Berto juga terlihat sedih.

“Suara garugiwa yang seperti itu, mengingatkanku pada Mama. Sehari sebelum Mama meninggal, aku ke sini bersama Mama. Waktu itu, Paman Berto bercerita, kalau kicauan yang menyayat itu telah terdengar selama seminggu. Setelah Mama meninggal, kicau yang menyedihkan itu  menghilang begitu saja.” Air mata Elsa berderai. Mama Elsa baru meninggal setahun yang lalu.

“Baru seminggu terakhir ini kicau garugiwa yang seperti itu terdengar lagi,” tambah Paman Berto. “Sepertinya, sesuatu yang buruk akan terjadi.”

Hening. Refleks, Aira meraba bunga kamboja keberuntungan di sakunya.

(bersambung)

- cerita ini dimuat di Majalah Bobo No. 35/XLII
Veronica W
Seorang penulis dan editor yang menyukai dunia anak-anak.

Related Posts

Posting Komentar