Cerbung: Nyanyian di Balik Kabut (4)

oleh Veronica Widyastuti

Cerita sebelumnya:

Aira menegur Jeany yang meludah di Tiwu Ata Polo. Tetapi, Jeany seperti tak mengindahkannya. Tiba-tiba, kicau garugiwa yang menyayat hati terdengar lagi. Elsa jadi teringat mamanya yang meninggal. Menurut firasat Paman Berto, sesuatu yang buruk akan terjadi.


“Tenang saja, Elsa, aku juga sudah tidak punya Mama. Tetapi, kehidupan berjalan terus. Dengan atau tanpa Mama, kita harus tetap bersemangat.” Jeany menepuk-nepuk pundak Elsa, berusaha menghiburnya. “Aku tak sabar melihat orang membuat tenun ikat. Yuk, pulang!”

Mereka segera pamit pada Paman Berto. Mereka juga menyapa Bibi Ana yang sedang menawarkan kain-kainnya pada turis yang berkunjung.

Sampai di rumah Elsa, mereka beristirahat sebentar. Rumah Elsa sepi. Om Edo berangkat kerja pagi-pagi dan baru pulang malam nanti. Elsa membuatkan teh hangat untuk mereka semua.

Lalu, Elsa mengajak mereka ke rumah Bibi Nita. Beberapa ibu berkumpul di halaman rumah Bibi Nita untuk menenun. Ada yang sedang mengikat benang, ada yang menenun kain. Mereka senang ketika Aira dan Jeany datang dan banyak bertanya tentang tenun ikat. Sesekali, Jeany maupun Aira memotret mereka.
Nyayian di Balik Kabut (4) diilustrasi oleh Jenny.

Sambil tangannya sibuk bekerja, Bibi Nita bercerita tentang proses membuat kain tenun ikat. “Awalnya, benang harus digulung, dibentangkan di kayu, diikat, lalu dicelup warna. Supaya warnanya berbeda-beda, proses pencelupannya harus diulang berkali-kali. Nanti, kalau proses pencelupan selesai, barulah kain ditenun dengan cara tradisional. Bisa sampai sebulan hanya untuk mengerjakan selembar kain.”

“Hah, sebulan? Pantas harganya mahal!” komentar Aira.

“Lebih mahal lagi kalau pakai pewarna alami dari tumbuhan. Bisa pakai mengkudu, kunyit, daun tarum,  atau dedaunan lain. Kalau yang murah, pewarnanya buatan pabrik.”

“Bibi, Aira mau belajar menenun!” celetuk Elsa.

“Oh, boleh!” sambut Bibi Nita. “Ini masuk sini. Yang ini ke sini. Ini ke sana!” Bibi Nita membimbing Aira. 

“Susaaah!” seru Aira sambil tertawa.

“Apa yang susah? Elsa berhasil membuat satu selendang,” sahut Bibi Nita.

“Iya, selendangnya diberikan pada saya, Bibi. Cantik sekali!”

“Aaaw! Oh, my God! Huuu!” Tiba-tiba Jeany menjerit sambil meloncat-loncat.

Bibi Nita tertawa, lalu mengambil seekor ulat di pundak Jeany. “Hanya ulat kecil.”

Mengikat benang.
Baik Jeany, Elsa, maupun Aira bergidik geli melihatnya. “Lihat, Aira. Aku kehilangan keberuntungan tanpa kamboja itu,” bisik Jeany.

Spontan, Aira meraba bunga kamboja di sakunya. Hmm, mungkin Jeany benar. Kalau Jeany yang membawa kamboja itu, barangkali ulatnya akan jatuh ke pundak Aira. Aira bergidik.

“Hei, kenapa? Itu hanya ulat kecil. Ayo, belajar lagi membuat ikat!” tegur Bibi Nita menggoda Aira. Aira tersenyum.

Menjelang senja, mereka bertiga bubar. Elsa dan Aira pulang ke rumah Elsa. Sementara Jeany menuju penginapannya. Bibi Nita menghadiahkan masing-masing sehelai selendang mungil untuk Jeany dan Aira. Jeany juga membeli beberapa lembar kain dan selendang untuknya dan oleh-oleh buat teman-temannya di Denmark.

“Saya juga kepingin. Tetapi, saya masih lama di sini, Bibi Nita. Besok, saya ke sini sama Mama saja. Mama pasti suka dengan kain-kain indah Bibi,” kata Aira sambil tersenyum.

Di rumah Elsa, Aira mengecek foto-foto di kameranya. Elsa meminjamkan komputer supaya Aira bisa melihat-lihat foto dengan ukuran lebih besar.

“Kelimutu bagiku seperti tempat yang biasa, karena aku sering ke sana. Tetapi, kalau difoto-foto begini, terlihat istimewa, ya?” komentar Elsa.
Menenun kain ikat.

Aira memandang sepupunya. “Tempat yang biasa, katamu? Kelimutu itu luar biasa, Elsa! Aku belum pernah melihat danau berwarna-warni begini. Dengan pemandangan seindah ini pula. Lihat, nih, pemandangan sunrise, serasa di negeri mimpi! Sayang, aku belum dapat foto garugiwa.”

Aira kembali memutar fotonya satu  persatu. Elsa ikut memperhatikan dengan cermat. “Tunggu! Aira, balik lagi, dong! Aku seperti melihat sesuatu!”

Aira memutar kembali mouse di tangannya.

“Berhenti! Ya, di foto itu!”

“Ini, kan, foto Jeany di depan Tiwu Ata Polo. Waktu itu, kamu sedang mengobrol bersama Paman Berto. Ingat enggak, waktu aku naik bersama Jeany sebelum pulang?”

“Ini seperti bayangan garugiwa,” bisik Elsa.

Aira kaget. “Mana?”

“Lihat di balik pepohonan ini! Seperti sepasang mata kecil. Samar-samar juga terlihat warna kekuningan di bawahnya. Garugiwa, kan, berwarna hijau kekuningan. Kenapa tatapannya seram, ya, seperti tatapan marah?”

Jantung Aira terasa berdebar-debar. Tiba-tiba, Aira ingat. Foto ini dia ambil setelah Jeany meludah ke danau. Jangan-jangan, burung garugiwa ini marah karena Jeany tidak sopan? Apakah burung garugiwa ini penjaga Tiwu Ata Polo? Jantung Aira berdegup semakin kencang.

(bersambung)

* cerita ini dimuat di Majalah Bobo No. 36/XLII
Veronica W
Seorang penulis dan editor yang menyukai dunia anak-anak.

Related Posts

Posting Komentar